Sebelumnya apa itu yang dimaksud dengan reshuffle kabinet? Reshuffle kabinet mengandung beberapa arti. Pertama, pemerintah tampak menyadari dan sekaligus mengakui bahwa timnya sudah tidak bekerja sesuai dengan rencana. Harus ada tindakan, agar kendaraan yang ditumpangi rakyat tidak kejeblos ke jurang. Kedua, pemerintah peduli pada keresahan rakyat yang tidak sabar lagi menunggu adanya perubahan. Lalu mencoba memperbaiki penampilannya. Karena tidak cukup hanya membawa kendaraan ke tujuan, tetapi juga memelihara perasaan penumpangnya (rakyat) agar tetap nyaman. Ketiga, pemerintah membuktikan memiliki cita-cita sama dengan rakyat. Mencapai keadaan yang lebih baik. Bukan hanya sekadar berkuasa. (www.jurnas.com)
Namun, di kepala rakyat reshuffle berbunyi lain. Bukan hanya sekadar pergantian pemain, tapi menuntut adanya perubahan hasil yang lebih baik. Di awal reshuffle rakyat bisa terhibur sementara, kalau komposisi kabinet sesuai dengan seleranya. Tapi pada akhirnya mereka akan tetap menuntut perubahan pencapaian. Bahkan yang awalnya mencak-mencak protes akan bersorak mendukung, kalau kinerja tim baru ternyata efektiv dan membawa kearah perubahan yang jauh lebih baik.
Reshuffle sebenarnya adalah saat yang indah. Saat terjadi dialog yang intensif antara rakyat dan pemerintah. Dialog yang tidak lagi mempergunakan kata-kata, tetapi tindakan. Saat yang menunjukkan bahwa rakyat dan pemerintah masih terkait satu cita-cita, mengejar kepentingan bangsa dan negara.
Lalu apa maksud dan tujuan Reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan melakukan kebijakan menambah wakil menteri? Padahal selama ini akar masalah justru timbul pada kinerja menteri yang notabene lebih mementingkan kepentingan parpolnya daripada mementingkan agenda negara untuk mengurus rakyat. Tapi mengapa malah menambah wajah – wajah baru dengan menambah wakil menteri? Bukankah lebih efektiv dengan melengser menteri yang tidak becus menjalankan tugas Negara? Selain itu mengapa menteri yang sudah jelas mendapat citra buruk di masyarakat akibat kasus – kasusnya selama menjabat sebagai menteri ada yang tetap dipertahankan? Reshuffle kabinet ini apa maksudnya?
Dalam reshuffle ini, Presiden SBY seperti mengulang kebiasaan sebelumnya dengan membuat kejutan yang tak pernah diprediksi banyak pihak yaitu dengan “menambah pos wakil menteri cukup banyak”, untuk tidak menyebut gemuk.
Penambahan wakil menteri sebenarnya tidak perlu, karena hanya ditujukan untuk menutupi kelemahan para menteri yang sudah ada. Jika kita melihat keberadaan pos wakil menteri memang terlihat performa kementerian tidak maksimal atau setidaknya banyak mendapat sorotan publik.
Sebut saja pos Wakil Menteri Hukum dan HAM yang diisi oleh Denny Indrayana. Kementerian ini diisi oleh Patrialis Akbar, politikus asal PAN. Selama menjabat, Patrialis kerap mendapat kritik mulai persoalan Lembaga Permasyarakatan hingga remisi para koruptor. Persoalan yang sama menimpa di Kementerian ESDM dan Kementerian Kesehatan.
Posisi lainnya yang juga mendapat pos Wakil Menteri ada di Kementerian Agama, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Kementerian Pertanian, Kementerian ESDM, Kementerian Kesehatan, Kementerian BUMN serta Menpan dan Reformasi Birokrasi. Sedangkan pos Wamen yang sebelumnya sudah ada yakni Kementerian Keuangan, Kementerian Pendidikan Nasional mendapat tambahan satu pos Wamen. Pos Wamen di Kementerian Perdagangan tidak mengalami perubahan.
Namun Menurut Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik Daniel Sparringga, “Istana” punya logika lain tentang penambahan pos Wamen di 13 kementerian itu. “Istana” tidaklah melakukan penambahan pada jumlah atau ukuran PNS. Mereka semua direkrut dari dalam lingkungan pegawai negeri. Daniel menyanggah bila keberadaan Wamen menambah gemuk postur kabinet. Dia beralasan Wamen hanya bergeser tempat dengan jabatan baru. Lebih dari itu, Dia menegaskan penempatan pejabat karir sebagai Wamen justru untuk meningkatkan kualitas proses perumusan kebijakan dan outputnya. Mereka sangat diperlukan untuk menghasilkan sinergi untuk meningkatkan kapasitas organisasi di masing-masing kementrian.
Dari penjelasan ini, publik dengan mudah menangkap keberadaan Wakil Menteri ini. Ekpektasi terhadap posisi Wamen di beberapa pos kementerian jelas dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja kementerian yang selama ini dinilai kurang maksimal. Pertanyaan mendasar, mengapa mereka orang profesional itu tidak sekaligus ditetapkan sebagai menteri?
Penambahan wakil menteri ini jelas menggambarkan kebingungan yang dialami oleh pemerintah. Rencana reshuffle kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai tidak memiliki visi yang jelas dan tak heran banyak yang berpikiran bahwa kebijakan seperti ini terlebih hanya bagi-bagi kekuasaan. Keberadaan Wamen ini sebagai bentuk tenggang rasa dan tepo seliro dari Presiden SBY kepada partai politik.
Kondisi ini dengan mudah dapat diprediksikan tidak bakal ada perombakan pos menteri secara maksimal. Perombakan kabinet yang dijanjikan membawa angin perubahan ini hanya berada di titik minimalis. Bila pun ada pencopotan menteri hanya terjadi di pos kementerian diisi oleh menteri yang 'di luar batas' saja termasuk yang tak cocok lagi dengan bos partai politiknya. Selebihnya, tidak ada perombakan. Jika ada menteri yang dianggap bermasalah, hanya dipindahtugaskan.
Reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudoyono dinilai tidak masuk akal. Sebelumnya Presiden menyatakan akan ada moratorium PNS, namun sekarang malah menambah jumlah wakil menteri. Sebagai contoh Amerika Serikat yang mempunyai ekonomi senilai USD 15 triliun hanya diurus 15 orang menteri dan 6 pejabat setingkat menteri. Sedangkan PDB Indonesia cuma USD 800 M atau seperenambelas AS, diurus 40 orang menteri dan wakil. Jelas banyak yang meragukan bahwa rancangan seperti ini tidak akan berhasil dan tidak akan membawa perubahan. Bahkan justru akan menimbulkan kegaduhan baru.
Tidak hanya itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga tidak pernah menjelaskan alasan reshuffle misalnya apakah untuk meningkatkan infrastruktur negara, pemberantasan korupsi, peningkatan kualitas pendidikan, jaminan kesehatan, atau lainnya. Yang terjadi, rakyat justru disuguhkan kepada drama pejabat berdatangan ke kediaman pribadi presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan yang ramai diperbincangkan bahwa pejabat “ini” akan diganti oleh pejabat “itu”.
Sampai saat ini, baik pergantian menteri Kabinet Indonesia Bersatu jilid I dan sekarang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak pernah menjelaskan apa saja kekeliruan atau kekurangan sehingga seorang menteri harus diganti. Demikian juga tidak ada penjelasan, mengapa perlu ditambah wakil menteri. Tanggungjawab Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum pernah diberikan, tapi tiba-tiba saja sekarang menambah wakil menteri. Presiden tidak pernah bertanggung jawab ke publik tentang apa saja yang dilakukan terhadap kabinet sebelunmya
Banyak yang berpendapat dan berkeyakinan jika reshuffle saat ini tak lebih sebagai bagi-bagi kursi untuk parpol koalisi. Selain itu banyak juga yang menilai bahwa perombakan kabinet kali ini makin menjauh dari filosofi yang mendasari penyusunan RUU tentang Kementerian Negara. Niat membentuk pemerintahan dengan manajemen modern yang miskin struktur dan kaya fungsi akan sulit dipenuhi jika pengisian posisi seperti saat ini. Penggemukan kabinet saat ini bukan sebagai kabinet kerja seperti yang didengungkan, melainkan kabinet bagi-bagi kekuasaan tanpa visi yang jelas. Bahkan jauh dari kata pemerintah yang transparan terhadap publik.
Sepertinya keadaan saat ini memperlihatkan presiden masih tersandera oleh kepentingan politik koalisinya. Pengangkatan wakil menteri menunjukkan langkah kompromi presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Terkesan setelah pertemuan dengan beberapa petinggi parpol koalisi, presiden menjadi ragu - ragu dalam mengganti menteri-menterinya yang bermasalah. Maka jalan tengah diambil dengan memperbanyak wakil menteri dan tidak melengser menterinya yang sudah jelas mendapat citra buruk di hadapan publik.
Lalu apa saja ancaman yang muncul dengan kebijakan seperti ini? Keputusan menambah jumlah wakil menteri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai akan menambah persoalan baru dalam kabinet. Salah satu hal yang dapat memicu persoalan yakni rivalitas antara menteri dan wakil menteri. Potensial terjadi gesekan antara menteri dan wakil menteri itu ada. Mungkin hanya satu dua yang cukup harmonis. Sebagian besar akhirnya terjadi rivalitas, apalagi wakil menterinya sudah merasa dirinya calon menteri. Itu menjadi persoalan sendiri.
Desakan reshuffle kabinet yang awalnya datang dari masyarakat sebagai respon atas keraguan publik terhadap sejumlah anggota kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang disebut-sebut tersangkut dengan dugaan tindakan pidana korupsi, desakan reshuffle kabinet itu malah didramatisir menjadi sebuah pertunjukkan di negeri ini.
Reshuffle kabinet itu sama sekali tidak ada manfaat dan nilai pendidikannya terhadap demokrasi dan tata kelola pemerintahan. Justru sebaliknya merugikan masyarakat karena dramatisasi reshuffle itu tanpa disadari telah memenuhi ruang-ruang publik yang ada di media massa sementara substansi dari desakan masyarakat yaitu copot anggota kabinet yang jadi gunjingan malah tidak disentuh.
Padahal, masalahnya sangat simple, masyarakat meminta Presiden untuk mencopot pembantunya yang bermasalah hukum. Oleh Presiden, permintaan tersebut "diselewengkan" dengan cara melibatkan elit partai politik dan menggemukan kabinet dengan cara menambah jabatan wakil menteri yang ujungnya-ujungnya harus dibiayai rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar