Jumat, 15 Juli 2011

Perayaan Aoi Matsuri

Aoi Matsuri (葵祭) adalah matsuri yang dilangsungkan setahun sekali pada bulan Mei di Kyoto, Jepang. Puncak perayaan adalah prosesi Rotō no gi (upacara di jalan) yang berlangsung 15 Mei di dalam kota Kyoto. Aoi Matsuri adalah salah satu dari tiga perayaan terbesar di Kyoto bersama-sama daengan Gion Matsuri dan Jidai Matsuri.


Prosesi Rotō no gi merupakan rekonstruksi dari iring-iringan pejabat istana yang menuju Kuil Shimogamo dan Kuil Kamigamo untuk membawa pesan dan persembahan dari kaisar. Pria dan wanita peserta prosesi mengenakan pakaian berwarna-warni seperti dikenakan kalangan bangsawan Jepang di zaman Heian. Wanita dan anak-anak peserta iring-iringan memakai rias wajah yang tebal seperti tata rias panggung.




Perayaan ini disebut Aoi Matsuri karena daun tanaman Asarum caulescens (bahasa Jepang: Futaba Aoi) dijadikan hiasan selama perayaan, termasuk hiasan pada tutup kepala dan atap tandu. Aoi Matsuri sudah dicatat dalam literatur Jepang sebelum abad pertengahan. Dalam cerita Hikayat Genji dikisahkan tentang istri Hikaru Genji, Aoi no Ue yang datang terlambat lalu berebut tempat dengan Rokujō no Miyasundokoro (kekasih suaminya) untuk dapat melihat prosesi.


Sejarah

Di masa pemerintahan Kaisar Kimmei (540-571) terjadi kegagalan panen akibat cuaca buruk berkepanjangan. Rakyat dilanda wabah penyakit dan kelaparan, sehingga kaisar mengirim utusan ke Kuil Kamo untuk menyampaikan pesan dan persembahan. Musibah berakhir dan pejabat istana secara tetap mengunjungi Kuil Kamo. Upacara diadakan di dua kuil Kamo sehingga disebut Kamo Matsuri.




Di pertengahan zaman Heian, bila hanya disebut "matsuri" maka yang dimaksudkan adalah Kamo Matsuri. Di zaman Kamakura dan Muromachi, prosesi tidak dilangsungkan akibat perang berkepanjangan. Perayaan dihidupkan kembali di Edo sekitar zaman Genroku. Ketika ibu kota dipindahkan ke Tokyo pada tahun 1869, prosesi Aoi Matsuri juga tidak dilangsungkan.




Aoi Matsuri kembali dilangsungkan di Kyoto pada tahun 1884 dengan maksud untuk menghidupkan kembali kota Kyoto. Selama Perang Dunia II, upacara Shatō no Gi tetap dilangsungkan, tapi tidak diadakan prosesi. Prosesi Aoi Matsuri kembali diadakan tahun 1953, dan diselenggarakan setiap tahun hingga sekarang. 

Jadwal matsuri

Aoi Matsuri dilangsungkan dari awal Mei hingga puncak upacara berupa prosesi 15 Mei.

Awal upacara

  • Yabusame Shinji
Upacara di Kuil Shimogamo untuk mendoakan keselamatan selama perayaan berlangsung. Penunggang kuda dengan kostum prajurit zaman Heian mempertontonkan keterampilan memanah dari atas punggung kuda yang sedang berlari.
  • Saiō-dai Misogi Shinji
Wanita yang berperan sebagai Saiō-dai (bintang utama dalam prosesi) dan pengikutnya disucikan dalam upacara yang dilakukan secara bergantian setiap tahunnya di Kuil Kamigamo dan Kuil Shimogamo.
  • Busha Shinji
Upacara melepaskan anak panah untuk menghalau arwah jahat yang dilangsungkan di Kuil Shimogamo.
  • Kamo Kurabe Uma
Upacara memacu kuda sekencang-kencangnya di dalam lingkungan Kuil Kamigamo untuk memeriksa kondisi dan kesehatan kuda.
  • Mikage Matsuri
Upacara penyambutan kedatangan arwah suci di Kuil Shimogamo dari Kuil Mikage di Gunung Hiei . Tari dan musik tradisional dipersembahkan di hutan bernama Tadasu no Mori, Kuil Shimogamo.
  • Miare Shinji
Upacara tertutup yang dilangsungkan malam hari di Kuil Kamigamo. Tidak terbuka untuk umum.

Puncak upacara (15 Mei)

  • Prosesi Rotō no Gi
Prosesi dimulai dari Istana Kyoto (Kyoto Gosho) menuju Kuil Kamigamo dengan melewati Kuil Shimogamo. Puncak prosesi adalah barisan wanita pengiring bintang prosesi yang disebut Saiō-dai.
  • Shatō no Gi
Upacara pembacaan pesan dan penyerahan persembahan di Kuil Shimogamo dan Kuil Kamigamo.

Saiō-dai dan barisan wanita

Pada zaman Heian, bintang utama dalam prosesi adalah seorang wanita yang disebut Saiō (斎王). Peran Saiō dipercayakan kepada salah seorang putri Kaisar Saga yang diutus sebagai miko di Kuil Kamo. Di zaman sekarang, wanita yang memerankan Saiō disebut Saiō-dai (斎王代 wakil Saiō) karena dipilih dari rakyat biasa. Wanita yang dipilih sebagai Saiō-dai harus belum menikah dan berasal dari kota Kyoto. Saiō-dai memakai rias wajah tebal dan gigi yang dihitamkan (Ohaguro). Jenis kimono yang dikenakan Saiō disebut Jūnihitoe (Karaginu Moshōzoku). Barisan wanita yang mengelilingi Saiō-dai selama iring-iringan terdiri dari anak perempuan yang disebut Menowarawa, dan wanita yang berperan sebagai penunggang kuda, pelayan wanita (Uneme), dan pegawai istana.

Tradisi Pernikahan Jepang




Di setiap negara mengakui sucinya pernikahan melalui sebuah upacara pernikahan, tidak semuanya dibuat sama. Tradisi pernikahan di suatu negara mungkin terlihat sangat asing bagi masyarakat di negara lain.
Walaupun ada banyak cara untuk merayakan sebuah pernikahan di Jepang, namun kebanyakan pasangan mengikuti ritual tradisi Shinto. Shinto (cara-cara Dewa) adalah kepercayaan tradisional masyarakat Jepang dan merupakan agama yang paling populer di Jepang di samping agama Budha.
Saat ini, adat pernikahan bergaya Barat, seperti ritual pemotongan kue, pertukaran cincin, dan bulan madu, sering kali dipadukan dengan adat tradisional Jepang.

Upacara pernikahan Shinto sifatnya sangat pribadi, hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat. Seringkali diadakan di sebuah tempat suci atau altar suci yang dipimpin oleh pendeta Shinto. Banyak hotel dan restauran yang dilengkapi dengan sebuah ruangan khusus bagi upacara pernikahan. Selama hari-hari keberuntungan tertentu dalam kalender Jepang, sangat lumrah untuk melihat lusinan pasangan mengikat janji dalam pernikahan Jepang di tempat suci Shinto.
Di awal upacara pernikahan, pasangan dimurnikan oleh pendeta Shinto. Kemudian pasangan berpartisipasi dalam sebuah ritual yang dinamakan san-sankudo. Selama ritual ini, mempelai perempuan dan pria bergiliran menghirup sake, sejenis anggur yang terbuat dari beras yang difermentasikan, masing-masing menghirup sembilan kali dari tiga cangkir yang disediakan.


Saat mempelai perempuan dan pria mengucap janji, keluarga mereka saling berhadapan (umumnya kedua mempelai yang saling berhadapan). Setelah itu, anggota keluarga dan kerabat dekat dari kedua mempelai saling bergantian minum sake, menandakan persatuan atau ikatan melalui pernikahan.

Upacara ditutup dengan mengeluarkan sesaji berupa ranting Sakaki (sejenis pohon keramat) yang ditujukan kepada Dewa Shinto. Tujuan kebanyakan ritual Shinto adalah untuk mengusir roh-roh jahat dengan cara pembersihan, doa dan persembahan kepada Dewa.


Prosesi singkat ini sederhana dalam pelaksanaannya namun sungguh-sungguh khidmat. Maknanya untuk memperkuat janji pernikahan dan mengikat pernikahan fisik kedua mempelai secara rohani.
Apabila sepasang mempelai Jepang ingin melaksanakan pernikahan tradisional Jepang yang murni, maka kulit sang mempelai perempuan akan dicat putih dari kepala hingga ujung kaki yang melambangkan kesucian dan dengan nyata menyatakan status kesuciannya kepada para dewa.
Mempelai perempuan umumnya akan diminta memilih antara dua topi pernikahan tradisional. Satu adalah penutup kepala pernikahan berwarna putih yang disebut tsuni kakushi (secara harafiah bermakna "menyembunyikan tanduk"). Tutup kepala ini dipenuhi dengan ornamen rambut kanzashi di bagian atasnya di mana mempelai perempuan mengenakannya sebagai tudung untuk menyembunyikan "tanduk kecemburuan", keakuan dan egoisme dari ibu mertua - yang sekarang akan menjadi kepala keluarga.


Masyarakat Jepang percaya bahwa cacat karakter seperti ini perlu ditunjukkan dalam sebuah pernikahan di depan mempelai pria dan keluarganya.
Penutup kepala yang ditempelkan pada kimono putih mempelai perempuan, juga melambangkan ketetapan hatinya untuk menjadi istri yang patuh dan lembut dan kesediannya untuk melaksanakan perannya dengan kesabaran dan ketenangan. Sebagai tambahan, merupakan kepercayaan tradisional bahwa rambut dibiarkan tidak dibersihkan, sehingga umum bagi orang yang mengenakan hiasan kepala untuk menyembunyikan rambutnya.
Hiasan kepala tradisional lain yang dapat dipilih mempelai perempuan adalah wata boushi. Menurut adat, wajah mempelai perempuan benar-benar tersembunyi dari siapapun kecuali mempelai pria. Hal ini menunjukkan kesopanan, yang sekaligus mencerminkan kualitas kebijakan yang paling dihargai dalam pribadi perempuan.
Mempelai pria mengenakan kimono berwarna hitam  pada  upacara pernikahan. Ibu sang mempelai perempuan menyerahkan anak perempuannya dengan menurunkan tudung sang anak, namun, ayah dari mempelai perempuan mengikuti tradisi berjalan mengiringi anak perempuannya menuju altar seperti yang dilakukan para ayah orang Barat.
Seperti umumnya di Indonesia, para tamu yang diundang pada pesta pernikahan di Jepang, perlu membawa uang sumbangan dalam dompet mereka. Hal ini karena mereka diharapkan memberikan pasangan goshugi atau uang pemberian yang dimasukkan dalam amplop, yang dapat diberikan baik sebelum atau sesudah upacara pernikahan.

Di akhir resepsi pernikahan, tandamata atau hikidemono seperti permen, peralatan makan, atau pernak-pernik pernikahan, diletakkan dalam sebuah tas dan diberikan kepada para tamu untuk dibawa pulang. 


Jepang Tempoe Doeloe

Setiap bangsa tentunya memiliki masa lalu, sisi lama dalam perjalanan sebuah bangsa yang bisa dijadikan pijakan sejarah peradaban manusia, budaya dan seni yang sangat penting bagi warisa generasi-generasi selanjutnya. Seperti halnya bangsa-bangsa Asia Timur lainnya, bangsa Jepang memiliki sisi kepercayaan spiritual yang sangat dijunjung tinggi dalam aspek kehidupannya terutama di masa lalu. Berikut ini GaleriArt persembahkan pandangan bagaimana gambaran kehidupan tradisional jepang klasik tempo doeloe yang sangat indah karena dikemas dalam gambar animasi bergerak 3 dimensi, Selamat Menikmati

budaya jepang
Jepang Tempo Doeloe, dalam perspektif seni, budaya dan kehidupan masyarakat
budaya jepang
Sisi lampau bangsa Jepang dalam "stereoview" gambar 3 dimensi, budaya dan kehidupan
budaya jepang
Sisi lampau bangsa Jepang dalam "stereoview" gambar 3 dimensi, budaya dan kehidupan
budaya jepang
Sisi lampau bangsa Jepang dalam "stereoview" gambar 3 dimensi, budaya dan kehidupan
budaya jepang
Sisi lampau bangsa Jepang dalam "stereoview" gambar 3 dimensi, budaya dan kehidupan
budaya jepang
Sisi lampau bangsa Jepang dalam "stereoview" gambar 3 dimensi, budaya dan kehidupan
budaya jepang
Sisi lampau bangsa Jepang dalam "stereoview" gambar 3 dimensi, budaya dan kehidupan
budaya jepang
Sisi lampau bangsa Jepang dalam "stereoview" gambar 3 dimensi, budaya dan kehidupan
budaya jepang
Sisi lampau bangsa Jepang dalam "stereoview" gambar 3 dimensi, budaya dan kehidupan
budaya jepang
Sisi lampau bangsa Jepang dalam "stereoview" gambar 3 dimensi, budaya dan kehidupan
budaya jepang
Sisi lampau bangsa Jepang dalam "stereoview" gambar 3 dimensi, budaya dan kehidupan
budaya jepang
Sisi lampau bangsa Jepang dalam "stereoview" gambar 3 dimensi, budaya dan kehidupan
budaya jepang
Sisi lampau bangsa Jepang dalam "stereoview" gambar 3 dimensi, budaya dan kehidupan

Rumah Bernuansa Jepang

Saya sangat suka dengan budaya dan arsitektur negara jepang, walaupun hanya sempat melihatnya pada saat menonton dorama (film drama) di layar televisi, namun saya sangat tertarik dengan bagaimana terstrukturnya arsitektur di jepang. Untuk kali ini, saya akan coba membahas tentang arsitektur rumah tradisional di jepang. Arsitektur rumah tradisional Jepang bermaterikan kayu sebagai bahan utamanya, anyaman tikar (tatami) sebagai penutup lantai dan perpaduan antara kayu dan kertas (shoji) sebagai dinding partisinya.





Modul perencanaan ruang didasarkan atas ukuran 1 lantai tatami ( 176 x 88 cm ) yang disebut sebagai 1 jo. Kelipatan dari jo inilah yang menjadi dasar penentu luas suatu ruangan. Ruang berukuran standart biasanya terdiri dari 6 jo. Tatami hanya dipasang di ruang tidur dan ruang keluarga/ ruang tamu, selain itu lantai dapur dan selasar menggunakan bahan vynil/ parquette. Lantai keramik jarang dipergunakan di Jepang, kecuali untuk KM/WC, ruang exterior dan fasilitas umum. Hal ini karena konstruksi rumah panggung tidak memungkinkan untuk menggunakan keramik. Ketebalan tatami sekitar 3cm s/d 6cm, yang terdiri dari particel board yang dilapisi tikar. Konsep rumah panggung hingga saat ini masih diterapkan di Jepang, untuk mengantisipasi gempa bumi yang kerap melanda Jepang.

Potongan rumah panggung khas Jepang, hingga sekarang konstruksi seperti ini tetap dipergunakan. Shoji, partisi geser antara ruang saat ini sudah jarang yang bermaterikan kertas, digantikan oleh kaca buram yang dapat bertahan lebih lama. Konstruksinya yang praktis membuat shoji dapat “buka pasang” setiap saat jika diperlukan.

Lemari ( oshiire ) yang dilengkapi dengan pintu geser ( fusuma ) dan dilapisi wallpaper, memiliki kedalaman 75cm, karena sebagai tempat menyimpan kasur gulung ( futon ), jika sedang tidak dipergunakan. Karena keterbatasan lahan di Jepang, rumah menjadi sangat mungil ukurannya, oleh karena itu sebuah ruangan dapat memiliki fungsi ganda. Pagi dan siang hari untuk rg. keluarga dan rg. makan, dimalam hari untuk rg. tidur. Di area entrance biasanya terdapat rg. foyer/ penerima tamu/ genkan. Di ruang ini tamu harus melepaskan alas kakinya dan menggantinya dengan sandal rumah yang biasanya sudah disediakan, kebiasaan ini diperlukan untuk menjaga kebersihan dan keawetan dari tatami.







Kamar mandi biasanya dilengkapi bak untuk berendam, yang kedalamannya lebih dalam daripada bath tub. Sudah menjadi kebiasaan warga Jepang untuk berendam setelah lelah bekerja seharian. Karena air dalam bak digunakan secara bergantian oleh anggota keluarga, maka sebelum berendam, biasanya mandi terlebih dahulu. Setelah itu bak ditutup agar air tetap hangat dan bersih, kemudian siap siap deh yang lain berendam, jadi mirip-mirip kolam renang, hanya ini sistemnya perorangan.

Closet di rumah tinggal umumnya sudah menggunakan closet duduk yang dilengkapi dengan aneka macam tombol untuk membilasnya, namum closet jongkok masih populer di Jepang, fasilitas umum biasanya menyediakan 2 jenis toilet ini.